TANAH DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
Makalah
ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah Islam dan Sains
Dosen
Pengampu : Nurochman, M.Kom.
Disusun
oleh :
Fajar
Ramadhan
Faizal
Indrarukmana
Dian
Pratama Putra
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
PENDAHULUAN
Tanah
berfungsi sebagai faktor produksi yang sangat penting, sering disebut sebagai
faktor produksi asal atau asli (original factor of production). Tanah merupakan
asal muasal dari segala kegiatan produksi. Tanah juga merupakan faktor produksi
unik, sebab ia tidak diciptakan oleh manusia melainkan manusia tinggal
memanfaatkannya. Keunikan tanah yang lain karena ketersediaannya yang sangat
terbatas, dalam arti ia telah tersedia dalam jumlah yang tetap dan tidak
diciptakan lagi.
Dalam
pandangan Islam, tanah merupakan anugerah Allah yang harus dimanfaatkan secara
optimal bagi pencapaian kesejahteraan manusia. Tanah tidak boleh ditelantarkan
sebagaimana pula tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan sehingga merusaknya.
PEMBAHASAN
A.
Penciptaan Adam dari Tanah
Allah
telah memerintahkan Malaikat Jibril turun ke bumi untuk mengambil sebahagian
tanah sebagai bahan untuk menjadikan Adam. Walau bagaimanapun, bumi enggan
membenarkan tanahnya diambil malah bersumpah dengan nama Allah bahwa dia tidak
rela untuk menyerahkannya kerana kebimbangannya seperti yang dibimbangkan oleh
para malaikat.
Jibril
kembali setelah mendengar sumpah tersebut lalu Allah mengutuskan pula Malaikat
Mikail dan kemudiannya Malaikat Israfil tetapi kedua-duanya juga tidak berdaya
hendak berbuat apa-apa akibat sumpah yang dibuat oleh bumi. Maka, Allah
memerintahkan Malaikat Izrail untuk melakukan tugas tersebut dan mendesak bumi
agar tidak menolak walaupun bumi bersumpah karena tugas tersebut dijalankan
atas perintah dan nama Tuhan.
Maka,
Izrail turun ke bumi dan mengatakan yang kedatangannya adalah atas perintah
Allah dan memberi amanat kepada bumi untuk tidak membantah yang memungkinkan
bumi mendurhakai Allah. Menurut Ibnu Abbas, tanah bumi dan surga digunakan
untuk dijadikan bahan menciptaan Adam. Tanah tersebut adalah:
1.
Tanah Baitulmuqaddis
(Palestin) - kepala sebagai tempat kemuliaan untuk diletakkan otak dan akal.
2.
Tanah Bukit Tursina
(Mesir) - telinga sebagai tempat mendengar dan menerima nasihat.
3.
Tanah Iraq - dahi
sebagai tempat sujud kepada Allah.
4.
Tanah Aden (Yaman) -
muka sebagai tempat berhias dan kecantikan.
5.
Tanah telaga Al-Kautsar
- mata sebagai tempat menarik perhatian.
6.
Tanah Al-Kautsar - gigi
sebagai tempat memanis-manis.
7.
Tanah Kaabah (Makkah) -
tangan kanan sebagai tempat mencari nafkah dan bekerjasama.
8.
Tanah Paris (Perancis)
- tangan kiri sebagai anggota untuk melakukan istinjak.
9.
Tanah Khurasan (Iran) -
perut sebagai tempat berlapar.
10.
Tanah Babilon (Iraq) -
kelamin sebagai organ seks dan tempat bernafsu serta godaan syaitan.
11.
Tanah Tursina (Mesir) -
tulang sebagai peneguh manusia.
12.
Tanah India - kaki
sebagai anggota berdiri dan berjalan.
13.
Tanah Firdaus (Surga) -
hati sebagai tempat keyakinan, keimanan, dan kemahuan.
14.
Tanah Taif (Arab Saudi) - lidah sebagai tempat untuk
mengucapkan syahadah, syukur dan do'a.
B.
Keunikan
Tanah Dalam Islam
Tanah
dan alam merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting. Oleh karena
itu, sangat tepat kalau Islam memberikan perhatian yang besar terhadapnya. Dan
tidak mengherankan kalau ada orang barat yang mengatakan bahwa “tanah adalah
ibu dari produksi, sementara ayahnya adalah tenaga kerja”.
Keunikan
dari faktor produksi tanah dibanding yang lainnya adalah sebagai berikut:
1.
Tanah
adalah pemberian langsung dari Allah SWT dalam artian kita hanya tinggal
menerima dan memanfaatkan saja. Berbeda dengan tenaga kerja dan kapital yang
itu diperoleh dari kerja keras atau usaha dari manusia. Oleh karena tanah
diberikan oleh Allah SWT secara langsung maka penggunaannya tidak boleh
sembarangan, yaitu harus sesuai dengan ketentuan yang Allah berikan kepada
kita.
Ø¥ِÙ†َّ
الْØ£َرْضَ للهِ ÙŠُÙˆْرِØ«ُÙ‡َا Ù…َÙ†ْ ÙŠَّØ´َاءُ Ù…ِÙ†ْ عِبَادِÙ‡ِ ÙˆَالْعَاقِبَØ©ُ
Ù„ِÙ„ْÙ…ُتَّÙ‚ِÙŠْÙ†َ
Artinya:
“sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah;
dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan
kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” ( Al A’rof 128)
2. Eksistensi dari tanah
adalah sesuatu yang sangat kompleks. Kalau kita lihat sumber daya yang
diberikan oleh tanah adalah yang ada didalam dan permukaan tanah itu sendiri.
Dari bawah tanah maka tanah memberikan bahan-bahan mineral dan tambang yang
bermanfaat bagi manusia, sedang dari permukaan tanah juga memberikan manfaat
yang luar biasa pada kita semua.
3. Penyediaan
atau penawaran tanah relatif terbatas, dalam artian bahwa tanah telah memiliki
jumlah keseluruhan yang tertentu, tidak dapat ditambah maupun dikurangi.
C.
Tanah Sebagai Faktor Produksi
Kedudukan
tanah sebagai faktor produksi sesungguhnya mengandung dua pengertian, yaitu:
1.
Dari sisi lahan, yaitu
zat atau fisik tanah itu sendiri, di mana secara keseluruhan mencakup juga apa
yang ada di atasnya, di permukaannya, dan di bawahnya.
2.
Dari sisi kegunaan,
tanah dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan produksi, misalnya pertanian,
perkebunan, permukiman, perdagangan, dan industri.
D.
Beberapa Pandangan Fungsi Tanah Sebagai Faktor Produksi
Fungsi
tanah sebagai faktor produksi mencakup 2 hal mendasar, yaitu:
-
Hak kepemilikan tanah,
dan
-
Kewajiban memanfaatkan
tanah.
a. Hak Kepemilikan
Tanah
Dalam
pandangan Islam, prinsip dasar kepemilikan tanah adalah karena pemanfaatan
tanah itu sendiri. Status kepemilikan tanah dapat berubah karena ketidakmauan
atau ketidakmampuan dalam pemanfaatan. Sebaliknya karena kemampuan memanfaatkan
tanah maka dapat menciptakan kepemilikan.
Dalam
pandangan Islam, cara-cara yang sah untuk memiliki tanah adalah melalui tiga
jalur berikut:
1.
Pewarisan
2.
Akad pemindahan hak
milik yang sah
3.
Kerja
Pewarisan tanah,
yaitu pemberian hak milik tanah dari orang tua yang telah meninggal kepada ahli
warisnya. Tanah warisan adalah hak milik yang sah, di mana seseorang boleh
memanfaatkannya, menjualnya, dan mewariskannya kembali kepada ahli waris
berikutnya.
Tanah juga dapat
dimiliki melalui akad-akad pemindahan hak milik yang sah,
misalnya melalui jual beli, wasiat dan pemberian (hibah), termasuk pemberian
seseorang kepada orang lain atau pemberian negara kepada rakyatnya secara
cuma-cuma. Jenis hibah yang terakhir ini sering disebut iqtha’.
Hasil kerja
seseorang dalam memproduktifkan suatu tanah, misalnya menghidupkan tanah mati
(ihya’u al mawat) dan memagari tanah (tahjiir), juga dapat menjadi sebab
kepemilikan. Tanah yang mati adalah tanah yang tidak kelihatan bahwa tanah itu
pernah dimiliki seseorang, tidak tampak adanya bekas sesuatu seperti pagar
(batas-batas wilayah kepemilikan), tanaman atau budidaya tanah lainnya,
bangunan, dan lain-lain. Jika seseorang memanfaatkan tanah mati ini menjadi
produktif kembali, maka ia berhak memiliki tanah mati tersebut. Sementara
memagari tanah sebenarnya juga mengandung implikasi menghidupkan tanah mati
pula, sebab dengan membuat batas-batas wilayah ini maka seseorang telah
bertekad untuk memanfaatkan tanah mati sehingga produktif.
Sedangkan
dalam pandangan sosialisme, semua tanah adalah milik negara sehingga tidak
seorang individupun dapat memilikinya. Sistem kepemilikan seperti ini jelas
mengabaikan fitrah manusia atas keinginan memiliki, memelihara kepemilikan, dan
menggunakannya untuk berbagai kepentingannya. Di samping itu, dalam prakteknya
kepemilikan mutlak atas tanah dan sumber daya ekonomi lainnya oleh negara
cenderung rawan terhadap penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat negara demi
kepentingan penguasa ataupun kepentingan kelompoknya.
Dalam
pandangan kapitalisme (liberalisme), penghargaan atas kepemilikan individu
benar-benar berlebihan sehingga seringkali tidak memperhatikan harmoni berbagai
tingkatan pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat. Kelompok kaya dapat
menguasai tanah seluas mungkin dan bebas untuk memanfaatkannya atau tidak,
sementara kelompok miskin terpaksa menjadi buruh dengan pendapatan yang rendah.
Seringkali terjadi keadaan di mana sejumlah besar tanah milik masyarakat kaya
dibiarkan menganggur (karena pemiliknya tidak sempat, tidak mampu, atau tidak
mau mengolahnya), sementara banyak orang miskin yang tidak memiliki tanah
sejengkalpun. Di sinilah feodalisme dapat tumbuh dengan subur.
b. Kewajiban
Memanfaatkan Tanah
Seseorang
yang memiliki hak milik atas tanah maka ia berkewajiban untuk memanfaatkan
tanah tersebut sebaik mungkin. Hubungan antara kepemilikan dengan pemanfaatan
adalah hubungan antara hak dan kewajiban. Artinya, hak kepemilikan terhadap
tanah menimbulkan konsekuensi kewajiban pemanfaatannya dan sebaliknya aktivitas
pemanfaatan dapat menimbulkan konsekuensi hak pemilikan.
Apabila
seseorang tidak mampu memanfaatkan tanah tersebut maka sebaiknya tanah tersebut
diserahkan kepada yang lebih mampu. Demikian pula apabila ia menganggurkannya
atau menelantarkannya maka pihak lain dapat mengambilnya untuk kemudian
memanfaatkannya. Lama waktu pengangguran tanah ini adalah 3 tahun. Hal ini
berdasarkan hadits Rasulullah saw yang berbunyi “Barangsiapa mempunyai tanah
(pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya.” (HR
Bukhari).
Intinya
hadist tersebut menyatakan bahwa suatu hak milik tanah dapat hilang karena ia
menelantarkan hak miliknya tersebut, selama kurun waktu lebih dari 3 tahun,
sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
Dalam
konteks perekonomian modern, proses pemindahan hak milik tanah sebaiknya
dilakukan oleh negara, sebab jika setiap individu diperkenankan bertindak
sendiri-sendiri maka hal ini dapat menimbulkan kekacauan. Pada prinsipnya
negara harus melakukan berbagai upaya yang diperkenankan oleh syariat Islam
agar tanah tidak terbengkalai dan dimanfaatkan secara optimal. Untuk menjamin
kepastian hukum maka kebijakan ini sebaiknya diatur dalam undang-undang yang
memuat ketentuan tentang kriteria tanah yang terlantar, mekanisme
pengambilalihan, kriteria pihak lain yang berhak memanfaatkan, dan hal lain
yang menjamin kebijakan ini dapat terlaksana dengan baik. Proses pemindahan hak
milik karena adanya penelantaran dan pemanfaatan tanah ini akan lebih menjamin
adanya optimalisasi pemanfaatan tanah sebagai sumber daya ekonomi.
E.
Filosofi Kepemilikan Tanah
Dalam
pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah
hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Firman Allah SWT :
Artinya
: “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan
langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur
: 42).
Allah
SWT juga berfirman:
Artinya:
“Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan
bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS Al-Hadid : 2).
Kemudian,
Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia
untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Firman Allah SWT:
Artinya:
“Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu
yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (QS Al-Hadid: 7).
Menafsirkan
ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, “Ayat
ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah
SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf)
dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT.” (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I hal.
130).
Maka
dari itu, filosofi ini mengandung implikasi bahwa tidak ada satu hukum pun yang
boleh digunakan untuk mengatur persoalan tanah, kecuali hukum-hukum Allah saja.
Mengatur pertanahan dengan hukum selain hukum Allah telah diharamkan oleh Allah
sebagai pemiliknya yang hakiki. Firman Allah SWT:
Artinya:
“Dan Dia tidak mengambil seorangpun
menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum.” (QS Al-Kahfi : 26).
F.
Larangan Menyewakan Lahan Pertanian
Lahan
pertanian tidak boleh disewakan, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil
pertaniannya maupun dalam bentuk lainnya (misalnya uang). (Al-Nabhani, ibid.
hal. 141).
Rasulullah
SAW bersabda, “Barangsiapa mempunyai
tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya,
jika ia enggan memberikan maka tahanlah tanahnya itu.” (HR Bukhari). Dalam
hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah SAW telah melarang mengambil upah sewa
(ajrun) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah. Hadis-hadis ini dengan jelas
melarang penyewaan lahan pertanian (ijaratul ardh).
Sebagian
ulama membolehkan penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil, yang
disebut muzara'ah. Dengan dalil bahwa Rasulullah SAW telah bermuamalah dengan
penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk
Rasulullah SAW dan setengah hasilnya untuk penduduk Khaibar.
Dalil
ini kurang kuat, karena tanah Khaibar bukanlah tanah pertanian yang kosong,
melainkan tanah berpohon. Jadi muamalah yang dilakukan Nabi SAW adalah bagi
hasil merawat pohon yang sudah ada, yang disebut musaqat, bukan bagi hasil dari
tanah kosong yang kemudian baru ditanami (muzara'ah). Tanah Khaibar sebagian
besar adalah tanah berpohon (kurma), hanya sebagian kecil saja yang kosong yang
dapat ditanami. (Al-Nabhani, ibid., hal. 142).
Larangan
ini khusus untuk menyewakan lahan pertanian untuk ditanami. Adapun menyewakan
tanah bukan untuk ditanami, misal untuk dibuat kandang peternakan, kolam ikan,
tempat penyimpanan (gudang), untuk menjemur padi, dan sebagainya, hukumnya
boleh-boleh saja sebab tidak ada larangan Syariah dalam masalah ini.
G.
Tanah Yang Memiliki Tambang
Tanah
yang di dalamnya ada tambang, misalkan minyak, emas, perak, tembaga, dan
sebagainya, ada 2 (dua) kemungkinan :
1)
Tanah itu tetap menjadi
milik pribadi/negara jika hasil tambangnya sedikit.
2)
Tanah itu menjadi milik
umum jika hasil tambangnya banyak.
Nabi
SAW pernah memberikan tanah bergunung dan bertambang kepada Bilal bin Al-Harits
Al-Muzni (HR Abu Dawud). Ini menunjukkan tanah yang bertambang boleh dimiliki
individu jika tambangnya mempunyai kapasitas produksinya sedikit.
Nabi
SAW suatu saat pernah memberikan tanah bertambang garam kepada Abyadh bin
Hammal. Setelah diberitahu para sahabat bahwa hasil tambang itu sangat banyak,
maka Nabi SAW menarik kembali tanah itu dari Abyadh bin Hammal. (HR Tirmidzi).
Ini menunjukkan tanah dengan tambang yang besar kapasitas produksinya, menjadi
milik umum yang dikelola negara, tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh
individu (swasta). (Al-Nabhani, ibid. hal. 220).
H.
Negara Berhak Menetapkan Hima
Hima
adalah tanah atau wilayah yang ditetapkan secara khusus oleh negara untuk
kepentingan tertentu, tidak boleh dimanfaatkan oleh individu. Misalnya
menetapkan hima pada suatu tambang tertentu, katakanlah tambang emas dan perak
di Papua, khusus untuk keperluan membeli alutsista (alat utama sistem persenjataan).
Rasulullah
SAW dan para khalifah sesudahnya pernah menetapkan hima pada tempat-tempat
tertentu. Rasulullah SAW pernah menetapkan Naqi` (nama padang rumput di kota
Madinah) khusus untuk menggembalakan kuda-kuda milik kaum muslimin, tidak untuk
lainnya. Abu Bakar pernah menetapkan Rabdzah (nama padang rumput juga) khusus
untuk menggembalakan unta-unta zakat, bukan untuk keperluan lainnya. (Zallum,
ibid., hal. 85).
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Tanah bumi dan surga
digunakan untuk dijadikan bahan menciptaan Adam.
2.
Tanah merupakan faktor
produksi yang relatif unik, sebab tidak diciptakan oleh manusia melainkan
manusia tinggal memanfaatkannya. Keunikan tanah yang lain karena
ketersediaannya yang relatif sangat terbatas. Keunikan ini membawa kerumitan dalam
penentuan harga dari tanah sebagai faktor produksi di mana nilai dan metode
dalam penentuan nilainya tidak bisa disamakan dengan faktor produksi lain,
seperti tenaga kerja dan modal.
3.
Secara umum, dalam
pandangan kepemilikan terhadap tanah menimbulkan konsekuensi pemanfaatannya dan
sebaliknya aktivitas pemanfaatan dapat menimbulkan konsekuensi pemilikan.
Cara-cara yang sah untuk memiliki tanah adalah melalui pewarisan, akad
pemindahan hak milik yang sah, dan kerja.
4.
Dalam pandangan Islam,
segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah hakikatnya adalah
milik Allah SWT semata.
5.
Filosofi kepemilikan
tanah dalam Islam. Intinya ada 2 (dua) poin, yaitu : Pertama, pemilik hakiki
dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT sebagai pemilik hakiki telah
memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum
Allah.
6.
Lahan pertanian tidak
boleh disewakan, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil pertaniannya maupun
dalam bentuk lainnya (misalnya uang).
7.
Tanah yang hasil
tambangnya sedikit tetap menjadi milik pribadi/negara, sedangkan apabila hasil
tambangnya banyak, maka tanah tersebut menjadi milik umum
8.
Suatu negara berhak
menetapkan hima, hima adalah tanah atau wilayah yang ditetapkan secara khusus
oleh negara untuk kepentingan tertentu, tidak boleh dimanfaatkan oleh individu.
Saran
Allah
telah menciptakan tanah untuk hidup dan kehidupan manusia dan mahluk hidup
lainnya, manfaatkanlah tanah untuk keperluan hidup dengan bijak. J
DAFTAR
PUSTAKA