Minggu, 13 Januari 2013

TANAH DALAM PERSPEKTIF ISLAM


TANAH DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Islam dan Sains

Dosen Pengampu : Nurochman, M.Kom.




Disusun oleh :
Fajar Ramadhan
Faizal Indrarukmana
Dian Pratama Putra


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012

PENDAHULUAN
 Tanah merupakan tempat kita berpijak dan menggantungkan kehidupan selama kita bernafas hingga akhir hidup kita. Tanah juga merupakan tempat bagi manusia untuk mencari makan dengan menanam tanaman yang dapat diolah sedemikian rupa guna kelangsungan hidup umat manusia. Selain itu tanah juga merupakan tempat kita untuk mendirikan rumah, bangunan, toko, perkantoran, jalan raya serta banyak hal lainnya. Oleh karena itu fungsi tanah bagi manusia sangatlah penting dan tidak dapat dianggap sebelah mata.
Tanah berfungsi sebagai faktor produksi yang sangat penting, sering disebut sebagai faktor produksi asal atau asli (original factor of production). Tanah merupakan asal muasal dari segala kegiatan produksi. Tanah juga merupakan faktor produksi unik, sebab ia tidak diciptakan oleh manusia melainkan manusia tinggal memanfaatkannya. Keunikan tanah yang lain karena ketersediaannya yang sangat terbatas, dalam arti ia telah tersedia dalam jumlah yang tetap dan tidak diciptakan lagi.
Dalam pandangan Islam, tanah merupakan anugerah Allah yang harus dimanfaatkan secara optimal bagi pencapaian kesejahteraan manusia. Tanah tidak boleh ditelantarkan sebagaimana pula tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan sehingga merusaknya.
PEMBAHASAN
A.               Penciptaan Adam dari Tanah
Allah telah memerintahkan Malaikat Jibril turun ke bumi untuk mengambil sebahagian tanah sebagai bahan untuk menjadikan Adam. Walau bagaimanapun, bumi enggan membenarkan tanahnya diambil malah bersumpah dengan nama Allah bahwa dia tidak rela untuk menyerahkannya kerana kebimbangannya seperti yang dibimbangkan oleh para malaikat.
Jibril kembali setelah mendengar sumpah tersebut lalu Allah mengutuskan pula Malaikat Mikail dan kemudiannya Malaikat Israfil tetapi kedua-duanya juga tidak berdaya hendak berbuat apa-apa akibat sumpah yang dibuat oleh bumi. Maka, Allah memerintahkan Malaikat Izrail untuk melakukan tugas tersebut dan mendesak bumi agar tidak menolak walaupun bumi bersumpah karena tugas tersebut dijalankan atas perintah dan nama Tuhan.
Maka, Izrail turun ke bumi dan mengatakan yang kedatangannya adalah atas perintah Allah dan memberi amanat kepada bumi untuk tidak membantah yang memungkinkan bumi mendurhakai Allah. Menurut Ibnu Abbas, tanah bumi dan surga digunakan untuk dijadikan bahan menciptaan Adam. Tanah tersebut adalah:
1.                  Tanah Baitulmuqaddis (Palestin) - kepala sebagai tempat kemuliaan untuk diletakkan otak dan akal.
2.                  Tanah Bukit Tursina (Mesir) - telinga sebagai tempat mendengar dan menerima nasihat.
3.                  Tanah Iraq - dahi sebagai tempat sujud kepada Allah.
4.                  Tanah Aden (Yaman) - muka sebagai tempat berhias dan kecantikan.
5.                  Tanah telaga Al-Kautsar - mata sebagai tempat menarik perhatian.
6.                  Tanah Al-Kautsar - gigi sebagai tempat memanis-manis.
7.                  Tanah Kaabah (Makkah) - tangan kanan sebagai tempat mencari nafkah dan bekerjasama.
8.                  Tanah Paris (Perancis) - tangan kiri sebagai anggota untuk melakukan istinjak.
9.                  Tanah Khurasan (Iran) - perut sebagai tempat berlapar.
10.              Tanah Babilon (Iraq) - kelamin sebagai organ seks dan tempat bernafsu serta godaan syaitan.
11.              Tanah Tursina (Mesir) - tulang sebagai peneguh manusia.
12.              Tanah India - kaki sebagai anggota berdiri dan berjalan.
13.              Tanah Firdaus (Surga) - hati sebagai tempat keyakinan, keimanan, dan kemahuan.
14.              Tanah Taif (Arab Saudi) - lidah sebagai tempat untuk mengucapkan syahadah, syukur dan do'a.
B.     Keunikan Tanah Dalam Islam
Tanah dan alam merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting. Oleh karena itu, sangat tepat kalau Islam memberikan perhatian yang besar terhadapnya. Dan tidak mengherankan kalau ada orang barat yang mengatakan bahwa “tanah adalah ibu dari produksi, sementara ayahnya adalah tenaga kerja”.
Keunikan dari faktor produksi tanah dibanding yang lainnya adalah sebagai berikut:
1.    Tanah adalah pemberian langsung dari Allah SWT dalam artian kita hanya tinggal menerima dan memanfaatkan saja. Berbeda dengan tenaga kerja dan kapital yang itu diperoleh dari kerja keras atau usaha dari manusia. Oleh karena tanah diberikan oleh Allah SWT secara langsung maka penggunaannya tidak boleh sembarangan, yaitu harus sesuai dengan ketentuan yang Allah berikan kepada kita.
Ø¥ِÙ†َّ الْØ£َرْضَ للهِ ÙŠُÙˆْرِØ«ُÙ‡َا Ù…َÙ†ْ ÙŠَّØ´َاءُ Ù…ِÙ†ْ عِبَادِÙ‡ِ ÙˆَالْعَاقِبَØ©ُ Ù„ِÙ„ْÙ…ُتَّÙ‚ِÙŠْÙ†َ
Artinya: “sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” ( Al A’rof 128)
2. Eksistensi dari tanah adalah sesuatu yang sangat kompleks. Kalau kita lihat sumber daya yang diberikan oleh tanah adalah yang ada didalam dan permukaan tanah itu sendiri. Dari bawah tanah maka tanah memberikan bahan-bahan mineral dan tambang yang bermanfaat bagi manusia, sedang dari permukaan tanah juga memberikan manfaat yang luar biasa pada kita semua.
3. Penyediaan atau penawaran tanah relatif terbatas, dalam artian bahwa tanah telah memiliki jumlah keseluruhan yang tertentu, tidak dapat ditambah maupun dikurangi.
C. Tanah Sebagai Faktor Produksi
Kedudukan tanah sebagai faktor produksi sesungguhnya mengandung dua pengertian, yaitu:
1.        Dari sisi lahan, yaitu zat atau fisik tanah itu sendiri, di mana secara keseluruhan mencakup juga apa yang ada di atasnya, di permukaannya, dan di bawahnya.
2.        Dari sisi kegunaan, tanah dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan produksi, misalnya pertanian, perkebunan, permukiman, perdagangan, dan industri.



D. Beberapa Pandangan Fungsi Tanah Sebagai Faktor Produksi
Fungsi tanah sebagai faktor produksi mencakup 2 hal mendasar, yaitu:
-                 Hak kepemilikan tanah, dan
-                 Kewajiban memanfaatkan tanah.
a. Hak Kepemilikan Tanah
Dalam pandangan Islam, prinsip dasar kepemilikan tanah adalah karena pemanfaatan tanah itu sendiri. Status kepemilikan tanah dapat berubah karena ketidakmauan atau ketidakmampuan dalam pemanfaatan. Sebaliknya karena kemampuan memanfaatkan tanah maka dapat menciptakan kepemilikan.
Dalam pandangan Islam, cara-cara yang sah untuk memiliki tanah adalah melalui tiga jalur berikut:
1.             Pewarisan
2.             Akad pemindahan hak milik yang sah
3.             Kerja
Pewarisan tanah, yaitu pemberian hak milik tanah dari orang tua yang telah meninggal kepada ahli warisnya. Tanah warisan adalah hak milik yang sah, di mana seseorang boleh memanfaatkannya, menjualnya, dan mewariskannya kembali kepada ahli waris berikutnya.
Tanah juga dapat dimiliki melalui akad-akad pemindahan hak milik yang sah, misalnya melalui jual beli, wasiat dan pemberian (hibah), termasuk pemberian seseorang kepada orang lain atau pemberian negara kepada rakyatnya secara cuma-cuma. Jenis hibah yang terakhir ini sering disebut iqtha’.
Hasil kerja seseorang dalam memproduktifkan suatu tanah, misalnya menghidupkan tanah mati (ihya’u al mawat) dan memagari tanah (tahjiir), juga dapat menjadi sebab kepemilikan. Tanah yang mati adalah tanah yang tidak kelihatan bahwa tanah itu pernah dimiliki seseorang, tidak tampak adanya bekas sesuatu seperti pagar (batas-batas wilayah kepemilikan), tanaman atau budidaya tanah lainnya, bangunan, dan lain-lain. Jika seseorang memanfaatkan tanah mati ini menjadi produktif kembali, maka ia berhak memiliki tanah mati tersebut. Sementara memagari tanah sebenarnya juga mengandung implikasi menghidupkan tanah mati pula, sebab dengan membuat batas-batas wilayah ini maka seseorang telah bertekad untuk memanfaatkan tanah mati sehingga produktif.
Sedangkan dalam pandangan sosialisme, semua tanah adalah milik negara sehingga tidak seorang individupun dapat memilikinya. Sistem kepemilikan seperti ini jelas mengabaikan fitrah manusia atas keinginan memiliki, memelihara kepemilikan, dan menggunakannya untuk berbagai kepentingannya. Di samping itu, dalam prakteknya kepemilikan mutlak atas tanah dan sumber daya ekonomi lainnya oleh negara cenderung rawan terhadap penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat negara demi kepentingan penguasa ataupun kepentingan kelompoknya.
Dalam pandangan kapitalisme (liberalisme), penghargaan atas kepemilikan individu benar-benar berlebihan sehingga seringkali tidak memperhatikan harmoni berbagai tingkatan pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat. Kelompok kaya dapat menguasai tanah seluas mungkin dan bebas untuk memanfaatkannya atau tidak, sementara kelompok miskin terpaksa menjadi buruh dengan pendapatan yang rendah. Seringkali terjadi keadaan di mana sejumlah besar tanah milik masyarakat kaya dibiarkan menganggur (karena pemiliknya tidak sempat, tidak mampu, atau tidak mau mengolahnya), sementara banyak orang miskin yang tidak memiliki tanah sejengkalpun. Di sinilah feodalisme dapat tumbuh dengan subur.
b. Kewajiban Memanfaatkan Tanah
Seseorang yang memiliki hak milik atas tanah maka ia berkewajiban untuk memanfaatkan tanah tersebut sebaik mungkin. Hubungan antara kepemilikan dengan pemanfaatan adalah hubungan antara hak dan kewajiban. Artinya, hak kepemilikan terhadap tanah menimbulkan konsekuensi kewajiban pemanfaatannya dan sebaliknya aktivitas pemanfaatan dapat menimbulkan konsekuensi hak pemilikan.
Apabila seseorang tidak mampu memanfaatkan tanah tersebut maka sebaiknya tanah tersebut diserahkan kepada yang lebih mampu. Demikian pula apabila ia menganggurkannya atau menelantarkannya maka pihak lain dapat mengambilnya untuk kemudian memanfaatkannya. Lama waktu pengangguran tanah ini adalah 3 tahun. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw yang berbunyi “Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya.” (HR Bukhari).
Intinya hadist tersebut menyatakan bahwa suatu hak milik tanah dapat hilang karena ia menelantarkan hak miliknya tersebut, selama kurun waktu lebih dari 3 tahun, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
Dalam konteks perekonomian modern, proses pemindahan hak milik tanah sebaiknya dilakukan oleh negara, sebab jika setiap individu diperkenankan bertindak sendiri-sendiri maka hal ini dapat menimbulkan kekacauan. Pada prinsipnya negara harus melakukan berbagai upaya yang diperkenankan oleh syariat Islam agar tanah tidak terbengkalai dan dimanfaatkan secara optimal. Untuk menjamin kepastian hukum maka kebijakan ini sebaiknya diatur dalam undang-undang yang memuat ketentuan tentang kriteria tanah yang terlantar, mekanisme pengambilalihan, kriteria pihak lain yang berhak memanfaatkan, dan hal lain yang menjamin kebijakan ini dapat terlaksana dengan baik. Proses pemindahan hak milik karena adanya penelantaran dan pemanfaatan tanah ini akan lebih menjamin adanya optimalisasi pemanfaatan tanah sebagai sumber daya ekonomi.
E. Filosofi Kepemilikan Tanah
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Firman Allah SWT :
Artinya : “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur : 42).
Allah SWT juga berfirman:
Artinya: “Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid : 2).
Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (QS Al-Hadid: 7).
Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, “Ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT.” (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I hal. 130).
Maka dari itu, filosofi ini mengandung implikasi bahwa tidak ada satu hukum pun yang boleh digunakan untuk mengatur persoalan tanah, kecuali hukum-hukum Allah saja. Mengatur pertanahan dengan hukum selain hukum Allah telah diharamkan oleh Allah sebagai pemiliknya yang hakiki. Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum.” (QS Al-Kahfi : 26).


F. Larangan Menyewakan Lahan Pertanian
Lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil pertaniannya maupun dalam bentuk lainnya (misalnya uang). (Al-Nabhani, ibid. hal. 141).
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan memberikan maka tahanlah tanahnya itu.” (HR Bukhari). Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah SAW telah melarang mengambil upah sewa (ajrun) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah. Hadis-hadis ini dengan jelas melarang penyewaan lahan pertanian (ijaratul ardh).
Sebagian ulama membolehkan penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil, yang disebut muzara'ah. Dengan dalil bahwa Rasulullah SAW telah bermuamalah dengan penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk Rasulullah SAW dan setengah hasilnya untuk penduduk Khaibar.
Dalil ini kurang kuat, karena tanah Khaibar bukanlah tanah pertanian yang kosong, melainkan tanah berpohon. Jadi muamalah yang dilakukan Nabi SAW adalah bagi hasil merawat pohon yang sudah ada, yang disebut musaqat, bukan bagi hasil dari tanah kosong yang kemudian baru ditanami (muzara'ah). Tanah Khaibar sebagian besar adalah tanah berpohon (kurma), hanya sebagian kecil saja yang kosong yang dapat ditanami. (Al-Nabhani, ibid., hal. 142).
Larangan ini khusus untuk menyewakan lahan pertanian untuk ditanami. Adapun menyewakan tanah bukan untuk ditanami, misal untuk dibuat kandang peternakan, kolam ikan, tempat penyimpanan (gudang), untuk menjemur padi, dan sebagainya, hukumnya boleh-boleh saja sebab tidak ada larangan Syariah dalam masalah ini.
G. Tanah Yang Memiliki Tambang
Tanah yang di dalamnya ada tambang, misalkan minyak, emas, perak, tembaga, dan sebagainya, ada 2 (dua) kemungkinan :
1)             Tanah itu tetap menjadi milik pribadi/negara jika hasil tambangnya sedikit.
2)             Tanah itu menjadi milik umum jika hasil tambangnya banyak.
Nabi SAW pernah memberikan tanah bergunung dan bertambang kepada Bilal bin Al-Harits Al-Muzni (HR Abu Dawud). Ini menunjukkan tanah yang bertambang boleh dimiliki individu jika tambangnya mempunyai kapasitas produksinya sedikit.
Nabi SAW suatu saat pernah memberikan tanah bertambang garam kepada Abyadh bin Hammal. Setelah diberitahu para sahabat bahwa hasil tambang itu sangat banyak, maka Nabi SAW menarik kembali tanah itu dari Abyadh bin Hammal. (HR Tirmidzi). Ini menunjukkan tanah dengan tambang yang besar kapasitas produksinya, menjadi milik umum yang dikelola negara, tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh individu (swasta). (Al-Nabhani, ibid. hal. 220).
H. Negara Berhak Menetapkan Hima
Hima adalah tanah atau wilayah yang ditetapkan secara khusus oleh negara untuk kepentingan tertentu, tidak boleh dimanfaatkan oleh individu. Misalnya menetapkan hima pada suatu tambang tertentu, katakanlah tambang emas dan perak di Papua, khusus untuk keperluan membeli alutsista (alat utama sistem persenjataan).
Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnya pernah menetapkan hima pada tempat-tempat tertentu. Rasulullah SAW pernah menetapkan Naqi` (nama padang rumput di kota Madinah) khusus untuk menggembalakan kuda-kuda milik kaum muslimin, tidak untuk lainnya. Abu Bakar pernah menetapkan Rabdzah (nama padang rumput juga) khusus untuk menggembalakan unta-unta zakat, bukan untuk keperluan lainnya. (Zallum, ibid., hal. 85).












PENUTUP
Kesimpulan
1.        Tanah bumi dan surga digunakan untuk dijadikan bahan menciptaan Adam.
2.        Tanah merupakan faktor produksi yang relatif unik, sebab tidak diciptakan oleh manusia melainkan manusia tinggal memanfaatkannya. Keunikan tanah yang lain karena ketersediaannya yang relatif sangat terbatas. Keunikan ini membawa kerumitan dalam penentuan harga dari tanah sebagai faktor produksi di mana nilai dan metode dalam penentuan nilainya tidak bisa disamakan dengan faktor produksi lain, seperti tenaga kerja dan modal.
3.        Secara umum, dalam pandangan kepemilikan terhadap tanah menimbulkan konsekuensi pemanfaatannya dan sebaliknya aktivitas pemanfaatan dapat menimbulkan konsekuensi pemilikan. Cara-cara yang sah untuk memiliki tanah adalah melalui pewarisan, akad pemindahan hak milik yang sah, dan kerja.
4.        Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah SWT semata.
5.        Filosofi kepemilikan tanah dalam Islam. Intinya ada 2 (dua) poin, yaitu : Pertama, pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum Allah.
6.        Lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil pertaniannya maupun dalam bentuk lainnya (misalnya uang).
7.        Tanah yang hasil tambangnya sedikit tetap menjadi milik pribadi/negara, sedangkan apabila hasil tambangnya banyak, maka tanah tersebut menjadi milik umum
8.        Suatu negara berhak menetapkan hima, hima adalah tanah atau wilayah yang ditetapkan secara khusus oleh negara untuk kepentingan tertentu, tidak boleh dimanfaatkan oleh individu.
Saran
Allah telah menciptakan tanah untuk hidup dan kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya, manfaatkanlah tanah untuk keperluan hidup dengan bijak. J




DAFTAR PUSTAKA

Delicious Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by bangkuislami - Premium Blogger Themes | hostgator reviews